Saturday, February 27, 2016

Pengalaman Seminar Alkitab di Negeri Kari

Beberapa waktu yang lalu gw menghadiri kegiatan seminar yang diadakan lembaga Kristen di Silanka. Seminar yang diadakan berjudul A Call to Biblical Leadership. Sejujurnya waktu diajak ikut training ini gw ga antusias. Gw sudah 2x ikut training soal leadership di kantor, jadi udah ada bayangan materi yang akan disampaikan (palingan ada tambahan tokoh alkitab yang dijadikan contoh leadership). Ditambah lagi training di Srilanka pastinya menggunakan bahasa inggris, tambah mualeees deh gw. Gw pun datang hanya dengan motivasi “penasaran seperti apa training di negeri orang” (boong deng, sebenarnya emang gw ga punya alasan untuk menolak semua kegiatan yang diberikan ke gw, xoxoxo).


Lokasi seminar ada di pusat kota, sekitar 1 jam dari tempat gw tinggal. Seminar ini dihadiri dari semua denominasi gereja Kristen di distrik ini. Dari gereja tempat biasa gw beribadah di Srilanka, mengutus 4 orang termasuk gw. Peserta yang datang sekitar 200 orang. Lembaga yang mengadakan seminar  bernama Back to Bible, nama yang sederhana namun penuh makna. Di undangan tertulis seminar diadakan pukul 8.30 – 15.30 namun kenyataannya pukul 9.25 acara baru dimulai. Acara diawali dengan ibadah sekitar 20 menit.

Kepagian coyyy, terlalu rajin

Ibadah sebelum seminar

Lokasi seminar

Bahasa resmi di Srilanka ada 3, yaitu Inggris, Tamil, dan Sinhala. Di daerah tempat gw tinggal mayoritas menggunakan bahasa Tamil. Pembicara training tidak fasih berbicara Tamil, sehingga disediakan penerjemah (pembicara menggunakan bahasa Inggris). Memang di daerah pedesaan seperti ini tidak semua orang lancar berbahasa Inggris, beda dengan di Ibukota dan kota besar lainnya di Srilanka yang fasih berbahasa Inggris. Lucunya, intonasi sang penerjemah lebih tinggi dan bahasa tubuh penerjemah lebih bersemangat daripada pembicara utama.

Pembicara (kanan), penerjemah (kiri)





Seminar dibagi dalam 3 sesi. 9.45 – 11.15 yang kemudian dijeda break, dilanjutkan 11.40 -  12.45 yang kemudian dijeda makan siang kemudian 13.30 – 15.00 dan setengah jam kemudian diisi ibadah penutup serta kata sambutan. Ada 2 hal yang menarik di seminar ini.

Pertama.
Panitia menjamu peserta dengan (sangat) baik. Break pertama peserta diberi snack minuman soda dan kue mirip risol. Diakhir seminar, saat mau pulang (15.30) antrian pintu keluar sangat panjang dan lama. Ternyata panitia kembali membagikan minuman soda dan kue bolu. Baik banget deh ah mba dan mas panitianya.
Gw suka sama budaya orang sini, mereka menyantap snack dan makan siang bukan di dalam ruangan seminar, namun di luar ruangan yang diberi kursi. Jika sudah selesai makan mereka akan langsung pergi masuk ke dalam. Ga ada yang lanjut ngobrol-ngobrol di kursi luar karena mereka tahu ada peserta lain yang menunggu kursi supaya mereka bisa makan. Jadi selesai makan langsung angkat kaki kembali ke ruangan. Benar-benar tertib. Kalau di Indonesia, biasanya sehabis makan beberapa orang akan ngobrol, merokok atau ngaso di luar.

Tempat snack time dan makan siang



Betewe, di Srilanka juarannnnnng warga yang merokok. Selama 6 bulan gw tinggal di Srilanka, kurang dari 10 orang yang gw pergoki merokok. Tidak pernah sekalipun gw mendapati ada orang yang merokok di bus dan tempat umum. Jadi asik banget saat di tempat umum tidak terganggu asap rokok. Ada 2 asumsi gw kenapa sedikit warga Srilanka yang merokok, pertama mungkin karena harga rokok yang cukup mahal yaitu 5 ribu sebatang. Asumsi kedua gw adalah di sini teh lebih populer daripada kopi, lebih banyak warga yang minum teh daripada kopi. Biasanya rokok identik dengan kopi. Karena tidak banyak yang minum kopi, jadi sedikit pula yang merokok (mungkinnnn).

Kedua.
Ini acara judulnya seminar (training), namun gw ngerasa kaya dengerin orang khotbah. Tidak ada modul dan slide show, padahal di atas podium layar infocus sudah dalam keadaan “On” namun tidak ada satupun slide. Lagu saat ibadah pun tidak dimunculkan di layar. Lah kalau gitu ngapain coba dipasang layar infocus. Total 4 jam gw mendengarkan orang ngomong (seminar ini hanya di isi oleh 1 pembicara) . B.O.S.A.N. banget. Gw pikir pemaparan hanya melalui audio dan tanpa visual bukanlah hal yang efektif. Seminar tanpa modul/slide show ga akan bisa maksimal, seminar pun hanya dilakukan 1 arah. Harusnya panitia bisa mempersiapkan materi dengan baik. Bahan yang dibawakan oleh pembicara pun kurang tajam dan detail. Menurut gw bobot materi seminar ini tidak sebanding dengan uang yang dikeluarkan oleh panitia untuk menyelenggarakan acara ini.

Diakhir acara, masing-masing peserta diberikan 2 buku yang agak tebal mengenai pelayanan. Wuih,,, niat bener nih panitianya. Padahal seminar ini gratis tis tis. Namun karena bukunya berbahasa Tamil, gw berikan buku tersebut ke teman gw yang orang lokal sini. Lucunya, name tag yang diberikan panitia saat daftar ulang di pagi hari, diminta untuk dikembalikan saat acara selesai. Yaelah, kalau gitu ngapain coba dikasi name tag, buang-buang kertas aja. Name tag nya juga ga ada fungsinya sepanjang acara.

Terlepas dari semua keluhan gw yang ga penting, gw mengapresiasi kegiatan positif ini. Salut untuk lembaga Back to Bible yang memiliki kerinduan untuk membekali jemaat gereja dengan bekal rohani untuk bertumbuh. Mereka bisa mengumpulkan semua denominasi gereja di daerah sangat jauh (10 jam dari ibu kota Kolombo) tentunya bukan hal yang mudah, murah, dan gampang. Salut juga untuk snack dan makan siangnya yang oke punya. Salut juga untuk buku yang dibagikan. Pastinya acara ini tidak berakhir sia-sia. Semoga kegiatan ini bisa dilakukan di daerah lain di Srilanka dengan konsep yang lebih baik.

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran (2 Timotius 3:16)

Leadership is not a tittle, it is a behavior, live it –Quote-

A leader is one who sees more than others see, who sees farther than other see, and who sees before others do (Leroy Eims)







Mereka Bukan Kristen, Mereka ke Gereja

Selama tinggal di Srilanka, gw beribadah di Gereja Kristen Methodist St Lukas. Selama 6 bulan gw tinggal di sini, gw tidak menemukan perbedaan berarti dengan gereja Kristen di Indonesia, mungkin hanya penamaan gereja yang menggunakan kata Santo/Santa, hal yang tidak lazim di gunakan gereja Kristen di Indonesia. Komuni di gereja ini dilakukan setiap minggu pertama. Saat komuni berlangsung, gw perhatikan beberapa jemaat tidak ikut maju ke depan altar untuk menerima komuni, dan ini terus terjadi di setiap komuni. Kalau cuman 1 atau 2 jemaat sih mungkin gw ga akan kepo, nah ini ada sekitar 8 jemaat (dewasa) yang  tidak pernah ikut komuni. Mereka hanya duduk di kursi sampai ibadah komuni selesai.

Awalnya gw pikir mungkin jemaat tersebut belum mengikuti katekisasi. Tapi aneh juga karena usia mereka sudah tua, rata-rata penghuni panti jompo (gereja  dan panti jompo berada dalam naungan Methodist dan berada dalam 1 kompleks). Kok telat banget sudah tua namun belum katekisasi, padahal biasanya jemaat mengambil kelas katekisasi dan menerima komuni sebelum umur 20 tahun. Kenapa pula pendeta tidak ada inisitif untuk mengajak mereka belajar katekisasi.

Akhirnya gw mendapatkan jawabannya. Ternyata mereka itu adalah Hindu (mayoritas warga di daerah tempat gw tinggal adalah Hindu). Ada juga 1 jemaat yang Kristen namun belum dikatekisasi karena kedua orangtuanya adalah Hindu sehingga tidak ada yang membimbing (dia Kristen karena sering dibawa neneknya yang Kristen ke gereja) dan merasa belum siap untuk katekisasi karena masi bimbang (padahal umurnya sudah 60 tahun lebih). Memang semua keluarganya Hindu, jadi dia terkadang masi ikut beberapa kegiatan ke-Hindu-an.

Ah ga ngerti deh gw sama situasi ini. Masalahnya, beberapa warga yang ternyata Hindu ini rajin banget ke gereja dan memberikan persembahan. Mereka tidak hanya rajin datang saat ibadah minggu, ibadah tahun baru dan ibadah awal bulan pun mereka datang (setiap tanggal 1 diadakan ibadah pukul 6.30 pagi). Malah salah satu dari mereka adalah seksi repot di gereja. Dia yang mempersiapkan mic buat pendeta sebelum ibadah di mulai. Dia juga yang repot nyiapin buku lagu. Dia juga yang repot menyiapkan roti dan teh yang dibagikan kepada jemaat di akhir ibadah.

Setelah gw korek-korek latar belakang non-kristen ini rajin gereja, gw mendapatkan fakta yang menarik. Seksi repot yang gw sebutkan di atas adalah seorang opa penghuni panti jompo, namanya Opa Mohan. Opa Mohan memiliki IQ yang rendah sehingga hanya bisa sekolah sampai kelas 5 SD (opa berasal dari keluarga menengah ke atas). Opa Mohan sudah 8 tahun tinggal di panti jompo karena semua saudaranya banyak yang merantau ke luar negeri. Opa Mohan suka membantu para pekerja di panti, mulai dari pekerjaan dapur umum, mengurus kebun, sampai dengan memotong kayu bakar. Pola pikirnya memang seperti anak kecil yang suka kepo sama kerjaan orang lain. Di gereja, Opa Mohan dipercaya memeriksa mic dan persiapan lain yang akan dipakai untuk ibadah, menyimpan dan menyiapkan buku lagu, menyiapkan roti dan teh yang dibagikan di akhir ibadah. Itu semua murni inisiatifnya, opa tidak pernah disuruh. Jadilah opa merasa menjadi penanggung jawab gereja. Memang terlihat sepele, namun segala sesuatu yang dilakukan dengan ketulusan hati akan memberikan dampak yang besar. Saat opa tidak muncul dan melakukan semua hal yang biasa dia lakukan di gereja, semua orang akan kelimpungan dan merasa ada yang kurang. Hal lucu yang paling gw ingat adalah, suatu minggu opa ga muncul di gereja. Saat ibadah sudah selesai, opa terlihat mendatangi pendeta dengan terburu-buru sambil menyerahkan uang. Ternyata dia memberikan persembahan karena tadi tidak ikutan ibadah. Hmmm.

Ada juga oma penghuni jompo non-kristen yang rajin ikut ibadah setiap minggu, namanya Oma Thevi. Oma ini mengalami gangguan jiwa karena mengalami KDRT oleh suaminya. Sebelumnya di panti ada Oma yang sudah sangat tua (sebut saja Oma A). Oma A seorang Kristen. Oma A rajin beribadah ke gereja dan hampir setiap hari ke gereja untuk berdoa. Karena faktor usia, lambat laun oma A kesulitan berjalan. Oma A meminta Oma Thevi untuk mengantarnya berdoa ke gereja tiap hari dan beribadah di hari minggu. Hal ini sudah menjadi agenda rutin Oma Thevi. Pada bulan Juli 2015 Oma A meninggal dunia. Walaupun sudah tidak ada lagi yang harus diantar ke gereja, namun Oma Thevi tetap datang ke gereja di hari minggu untuk beribadah. Oma Thevi selalu duduk di kursi paling belakang. Walaupun mengalami gangguan jiwa, Oma Thevi tidak pernah mengganggu saat ibadah dan selalu memberikan persembahan.

Untuk para penghuni jompo lainnya yang non-kristen namun rajin ke gereja, menurut analisa pendeta mungkin disebabkan bosannya mereka di panti jompo tanpa kegiatan. Sehari-hari mereka hanya menunggu datangnya matahari terbit dan tenggelam. Jadi mereka datang ke gereja karena senang melihat keramaian dan mendengar suara orang bernyanyi. Pendeta sendiri tidak pernah mengajak penghuni panti ke gereja. Mereka datang atas inisiatif mereka sendiri. Pendeta menyambut dengan tangan terbuka semua orang yang mau datang beribadah. Jika memang nantinya mereka terpanggil untuk mengimani ajaran Kristen, barulah pendeta akan membimbing. Selain penghuni panti jompo, ada juga warga sekitar yang non-kristen datang beribadah ke gereja.

Gw pribadi memiliki opini pribadi atas kondisi ini. Mereka yang non-kristen ini tertarik datang ke gereja selain karena kesepian namun juga melihat ada hal yang baik dari orang kristen yang pergi ke gereja. Walaupun Oma A rajin berdoa dan beribadah ke gereja namun (misalkan) kelakuannya sangat buruk, mungkin Oma Thevi tidak akan mau menemani Oma A ke gereja dan berhenti ke gereja saat Oma A sudah meninggal. Namun di sini Oma Thevi melihat ada hal baik dari Oma A yang rajin ke gereja sehingga Oma Thevi tertarik untuk mengikuti rutinitas Oma A. When people fall for personality, everything else about it becomes beautiful.

Kalau orang yang beragama Kristen memiliki kelakuan yang buruk pasti orang disekitarnya akan mencibir “Ah buat apa ikutan ke gereja, dia yang rajin ke gereja aja namun kelakukaanya sangat buruk.” Memang kepribadian seseorang tidak bisa men-generalisir suatu kelompok tertentu, namun secara langsung memberikan label bagi beberapa orang. Misalnya label bahwa orang Amerika identik dengan seks bebas, alcohol, dan clubbing. Padahal tidak semua warga Amerika seperti itu.

Seorang yang percaya kepada Kristus haruslah menunjukkan bahwa Kristus tinggal di dalam diri mereka. Kita harus menjadi garam yang mengasinkan dan terang yang menerangi, bukan sebaliknya menjadi batu sandungan.

Sehingga oleh imanmu Kristus diam dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih (Efesus 3:17)

Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran (Efesus 5:8-9)

Untuk kasus Opa Mohan, di sini gw beropini bahwa pengurus gereja mengapresiasi semua hal yang dilakukan Opa Mohan sehingga Opa Mohan menemukan tempat di mana dia dihargai, dipercaya, dan diberi apresiasi. Di gereja lah Opa Mohan merasa berguna dan tidak dianggap sebagai orang yang tidak berguna karena memiliki IQ rendah. Pengurus gereja mengapresiasi dan tidak pernah menganggap remeh semua pekerjaan Opa Mohan. Pengurus gereja memandang bahwa semua manusia sama dihadapan Tuhan, sekalipun orang tersebut memilki IQ rendah. Be somebody who makes everybody body feel like a somebody.

Apakah perbuatan kita selama ini menjadi berkat? Atau menjadi batu sandungan? Apakah garam kita masih asin, atau sudah hambar?


Jacob was a liar,
Moses was a stutterer,
Gideon was a coward,
David was an adulterer,
Rahab was a prostitute,
Esther was an orphan,
Balaam’s donkey was a donkey
Yet God uses each one to impact His kingdom. Let God makes us to impa His kingdom –Quote-



Saturday, February 20, 2016

Post Working Syndrome

Belakangan ini banyak pesan whatsapp masuk dari beberapa teman (mantan) kantor gw di Indonesia. Dari yang sekedar ngirim meme, curhat, sharing ilmu, sampai gossip kantor. Ada 1 teman (mantan) kantor nanya “Lo udah 6 bulan di sana, lo ga kangen yol?”. You guys, jangankan 6 bulan, baru empat hari tinggal di Srilanka aja gw udah maha kangen sama (mantan) kantor dan sampai sekarang masih belum bisa move on. Gw reeeendu sama  rutinitas mba-mba kantoran (yang sebelumnya gw anggap sebagai rutinitas maha membosankan).

Awal gw tiba di Srilanka, gw senang banget karena bisa meninggalkan rutinitas kantor. Gw bahagia akhirnya bisa berhenti kerja. Gw memang salah satu korban salah milih jurusan kuliah dan memiliki rencana untuk banting stir dari bidang ilmu yang gw geluti. Namun gw menunggu waktu (dan tabungan) yang tepat. Dalam hati gw tertawa-iblis membayangkan teman-teman di kantor yang lagi hectic sedangkan di sini gw (yang ribuan mil jauhnya) lagi hore-hore. Gw senang bisa “kabur” dari deadline dan kasus yang lagi jadi trending topic di kantor. Gw senang bisa putus hubungan sama beberapa rekan kantor yang hanya dengan ngeliat mukanya dari jarak 10 m bisa bikin gw migraine.

Namun hore-hore itu hanya bertahan sementara. Hari ke-4 di Srilanka gw merasa jadi orang linglung karena tidak ada kesibukan yang berarti. Dua minggu pertama di Srilanka gw menunggu visa ijin untuk tinggal selama setahun. Selama dua minggu tersebut yang gw lakukan hanya jalan-jalan, menikmati peran jadi turis (kere) di negara orang, main, ngobrol, dan melakukan kegiatan hore-hore lainnya.

Perubahan rutinitas yang ekstrem ini belum bisa diterima sama otak gw. Mendadak gw kangen baca email kantor, padahal saat masih kerja inbox di email kantor gw penuh dengan ratusan unread email (yang terkadang sengaja ga gw baca jika subject emailnya ga menarik atau ada tendensi bikin nambah kerjaan). Gw kangen bunyi telepon kantor, padahal saat masih kerja gw males banget denger telepon bunyi karena ganggu konsentrasi dan kadang ujung-ujungnya nambah kerjaan. Sering banget gw sengaja ga angkat telepon kalau lagi rempong, apalagi kalau yang nelepon dari “si tukang bikin migraine” (layar telepon di kantor gw bisa memunculkan nama penelepon). Gw kangen suasana berisik, padahal saat masi kerja gw suka emosi jiwa sama departemen tetangga yang berisik banget, apalagi kalau menjelang closing akhir bulan, aduhaiii berisiknya. Memang ruangan kantor gw tidak ada sekat dinding pemisah. Lupa bawa head set di akhir bulan = kesalahan fatal.

Gw juga kangen lalu lintas yang ramai. Gw yang pulang-pergi kantor menggunakan motor menempuh 2 jam perjalanan, entah mengapa sering jatuh dari motor. Suatu kali gw pernah jatuh dari motor saat perjalanan ke kantor. Gw maksain diri tetap nerusin perjalanan ke kantor karena saat itu ada audit dan ada beberapa dokumen yang harus gw persiapkan. Sampailah gw di kantor dengan kaki nyeri-bengkak dan shock-tremor pasca jatuh di jalan raya yang ramai. Mungkin bos gw bosan dengan tragedi-jatuh-dari-motor yang sering gw alami, jadi beliau hanya komentar “Kenapa sih yol kamu sering banget jatuh dari motor?” Sampai hari ini gw juga masi belum menemukan jawaban atas pertanyaan bos gw itu. Belon lagi kalau lagi musim hujan, duh PR banget deh buat anak geng motor macam gw: macet, kedinginan, dan masuk angin. Saat musim hujan gw akan menambah anggaran bulanan untuk pijat spa.

Gw juga kangen dinas luar kantor, padahal sebelumnya gw mualesss buangettt kalau harus dinas luar kantor, dinas luar kantor = menumpuk kerjaan harian. Apalagi kalau TKP dinasnya melewati area macet atau di pelosok peradaban, yang bikin gw harus berangkat lebih pagi daripada resah gelisah takut terlambat karena terjebak macet di jam padat. Saat masi kerja, gw hampir tiap minggu dinas ke Cikarang (kantor gw di Bintaro), hal yang sangat gw benciiii. Perjalanan yang membosankan dan melelahkan Tangerang-Cikarang-Tangerang. Mati gaya di taksi. Rekor terparah saat gw pulang dinas Cikarang-Tangerang terjebak macet hingga 5,5 jam di jalan. Mau peeeeengsan rasanya. Namun gw sekarang merindukan perjalanan dinas luar kantor, ngobrol sama supir taksi, dengerin penyiar radio sambil menikmati macet, dan memandang bangunan tinggi sambil memperhatikan orang-orang dari kaca taksi (booong deng, biasanya kalau dinas luar kantor gw: masuk taksi-tidur-dibangunin kalau udah sampai).

Sekarang, di Srilanka, hari-hari yang gw lalui, bertolak belakang dengan kehidupan gw di Indonesia. Sangat jauh berbeda bagaikan Bruno Mars dan Andika Kangen Band. Ga ada email yang harus gw cek. Ga ada suara krang-kring telepon. Ga ada suasana berisik yang mengganggu konsentrasi. Ga ada lalu lintas menyebalkan yang harus gw lewati (jarak dari kamar ke tempat gw beraktivitas di Srilanka cuman 100 m, jalan sambil merem juga bisa). Ga ada cerita jatuh dari motor. Ga ada cerita masuk angin karena kehujanan. Ga ada cerita berangkat lebih pagi untuk menghindari macet. Ga ada mati gaya saat perjalanan dinas luar kantor yang jauhnya bikin tua di jalan. Gada deadline menumpuk. Gada rekan kantor yang bikin migraine dan tensi naik. Entah mengapa semua yang tidak gw suka saat gw menjalani rutinitas mba-mba kantoran, mendadak gw rindukan. Mungkin ini yang namanya post working syndrome. Huhuhu…kangen.

Selain rutinitas harian kantor, gw juga reeeendu sama suasana lalalayeyeye bersama tim di kantor. Mulai dari meeting serius-lumayan serius-tidak serius, candaan lucu-kurang lucu-tidak lucu, obrolan penting-kurang penting-tidak penting di jam kerja, bully, perbincangan (yang di dominasi obrolan vulgar) di grup chatting, pesta cemilan saat baru ada yang balik dari mudik atau dinas luar kota, bahkan gesekan (manusiawi) sesama anggota tim. Namun yang paling gw rindukan adalah obrolan jam makan siang sambil cuci mata karyawan kece dari lantai lain. Di saat makan siang inilah teman-teman cowo gw membuktikan kemampuan mata elangnya dalam mencari bibit unggul. Gw ingat sama teman kantor gw (seorang pria muslim) yang saat bulan puasa rela menahan godaan aroma makanan ikutan gabung di kantin demi melihat kecengannya yang beda lantai makan siang di kantin. Dia bilang: “ngeliat muka si doi kecengan bikin kenyang batin.” Cuiiihhhh. Anyway, gw agak kaget dengan memory otak pria yang cenderung lebih spesifik mengingat organ tubuh yang tidak umum untuk dijadikan deskripsi ciri fisik. Saat gw men-cirikan teman perempuan dengan “si Mawar yang rambutnya keriting”, atau “si Melati yang badannya pendek” entah mengapa teman pria gw men-cirikan dengan sudut pandang berbeda “si Mawar yang pantatnya besar”, atau “si Melati yang betisnya kecil”. Rasanya gw ga pernah perhatiin orang sampai ke betis-betisnya. Bahkan teman pria gw ini pernah bilang kalau gw mirip sama artis Fitri Tropica, pas gw tanya apanya yang mirip, dia bilang BIBIR kami mirip, sama-sama tebal. Ampun DiJeee, puluhan tahun gw ngaca, gw ga pernah sadar kalau bibir gw tebal. Dasar mata lelaki!!!

Gw juga kangen hang out pulang kantor: sekedar ngobrol, gossip tak berujung, dan curhat (yang terkadang tanpa solusi) sambil mengeksplor makanan berkalori tinggi. Terkadang, gw juga memilih killing time seorang diri sepulang kerja hanya untuk menikmati malam dan mengasah jiwa melankolis. Saat menulis ini, gw baru sadar kalau ternyata selama ini gw memiliki kehidupan yang bahagia. I don’t have everything that I want but I do have all I need. Bodohnya gw, kenapa selama ini gw pikir aktivitas kantor gw adalah aktivitas membosankan dan penuh dengan masalah. Mungkin selama ini gw hanya terfokus pada sisi negatif aja, padahal saat gw trace back, banyak hal menyenangkan dan bermakna dari semua hal yang pernah gw jalani. Pas banget sama renungan harian yang gw baca pagi ini. Dikatakan, saat kita sedang terpikir akan sisi buruk suatu hal, harus cepat-cepat dialihkan ke sisi baik agar kita bisa menjalani hidup lebih baik dan penuh ucapan syukur.

Mungkin kalau dipraktekan akan seperti ini: Saat gw bete harus ke kantor dengan cuaca hujan deres sehingga kedinginan dan macet, namun gw harus bersyukur karena setidaknya gw sampai kantor ga keringetan dan lepek seperti biasanya. Saat gw bete karena telepon kantor yang sering bunyi, namun gw harus bersyukur karena gw masi dianggap mumpuni untuk membantu permasalahan mereka yang menelepon gw. Saat gw bete harus dinas luar kantor yang jauh, namun gw bersyukur karena  gw bisa menjadi berkat buat supir taksi melalui rejeki dari argo taksi. Lucunya, kalau gw udah lama ga dinas luar kantor, pasti supir taksi langganan gw akan sms “Non, kok udah lama ga manggil taksi bapak, udah jarang dinas luar kantor ya non?” SMS perhatian supir taksi ini seperti oase buat jomblo macam gw yang udah lama ga dapat kiriman SMS perhatian. Naseeeeeb.

Memang gw ga bisa memutar kembali waktu. Yang bisa gw lakukan adalah belajar dari kesalahan, mengembangkan diri, dan berkomitmen akan menjalani setiap harinya dengan penuh makna. Gw ga mau lagi menjalani hari-hari dengan sia-sia dan penuh keluh kesah.  Mungkin rutinitas non-hectic di Srilanka ini suatu saat akan gw rindukan saat gw balik ke Indonesia. Gw memilih untuk bahagia dengan melihat dari sudut pandang yang positif. Anyway, positive thoughts are not enough, there have to be positive feelings and positive actions. Every day may not be good, but there is something good in every day. Bukan berarti gw ga punya masalah. Masalah gw banyak banget, malah sampai bikin gw lupa apa aja masalah yang gw hadapi. Tetapi gw berkomitmen untuk tidak menjadikan masalah yang gw alami membuat gw lupa sama berkat yang gw terima setiap harinya. Sekarang gw ga lagi menyesali kenapa gw salah jurusan. Gw ga lagi menyesali 5 tahun kuliah dengan beban batin yang sangat tiada terkira. Gw ga lagi menyesali pernah terjebak kerja di bidang ilmu yang ga gw suka. Gw ga lagi menyesali pernah disakiti pria brengsek. Banyak hal indah dan bermakna yang gw dapatkan dari ketidaksukaan gw sama jurusan kuliah, pekerjaan gw, dan hal lainnya yang membuat gw terus bergumam “Terimakasih TUHAN.”

You are where God wants to be at this very moment. Every experience is part of His divide plan. Just simply have to trust His will –Quote-

Aku merindukan kalian Departemen System Quality Management (baca: Departemen Lalalayeyeye)