Thursday, December 31, 2015

Christmas Carol Rumah Jemaat Gereja St.Luke Srilanka

Pada tanggal 21 Desember 2015 kemarin, gw ikutan acara kunjungan natal ke rumah-rumah jemaat Gereja St.Luke Methodist (Puttur, Srilanka). Nama bekennya Christmas Carol. Tim Christmas Carol berjumlah sekitar 15 orang. Kami mulai berangkat jam 9 pagi. Tiga orang dari rombongan menggunakan baju sinterklas (Nimron 8 tahun, Anthoni 23 tahun, dan Opa Mohan 65 tahun). Nimron adalah anak evangelis (gembala sidang) di gereja. Kami menyewa van (semacam elf) karena banyak jemaat yang rumahnya jauh dari gereja. Sepanjang perjalanan di van, rombongan tidak berhenti menyanyi. Gw cuman bisa cengar-cengir kuda dan bantu tepuk tangan karena ga ngerti sama lagunya (lagunya berbahasa Tamil). Kegiatan yang dilakukan tim Christmas Carol di rumah jemaat adalah bernyanyi 2 lagu (saat kami bernyanyi para sinterklas berjoget ria), pembacaan alkitab lalu di tutup dengan doa dan berkat dari pendeta. Rumah jemaat yang dikunjungi sekitar 20-30 rumah.




Puttur Srilanka adalah daerah yang ekonominya menengah ke bawah, jadi banyak jemaat gereja yang kurang mampu. Tidak ada satupun jemaat yang memasang pohon natal di rumahnya. Tetapi yang bikin gw terenyuh adalah kerelaan mereka menyuguhkan minuman dan cemilan untuk menyambut kedatangan kami. Malah ada tuan rumah yang langsung pergi pas kami datang. Pas kami mau pamit pulang, hanya tinggal anaknya yang masih SMP bersama kami. Ternyata si ibu pergi ke warung beli minuman soda dan biskuit untuk kami. Dari semua rumah yang kami datangi, hanya 1 rumah yang tidak kami suguhkan lagu dan tarian dari sinterklas. Pemilik rumah mengalami depresi berat karena anak perempuan mereka bunuh diri beberapa bulan yang lalu karena putus cinta (haishhh!!!!). Jadi kami hanya datang memberikan penghiburan dan pendeta memimpin doa.



Pada siang harinya, kami mengunjungi penjara anak. Ada lebih dari 50 anak tinggal di sana. Kami membagikan bingkisan yang berupa buku dan alat tulis. Walaupun hanya minoritas yang merayakan natal, namun semua anak dari berbagai agama turut serta bergabung dan menari bersama. Setelah menari-menyanyi, renungan natal singkat dari pendeta serta pembagian bingkisan, kami meninggalkan tempat tersebut. Alangkah sedihnya masih kecil harus tinggal terpisah dengan orang tua dan menjalani hukuman. Semoga mereka tidak lagi kembali ke penjara anak jika mereka kelak dibebaskan.



Dari penjara anak, kami kembali melanjutkan Christmas Carol ke rumah jemaat gereja.

Kunjungan yang menurut gw paling berkesan adalah rumah jemaat yang terletak di pinggir lapangan. Jemaat ini bisa dikatakan miskin. Rumahnya hanya ada 1 ruangan dan 1 dapur kecil tanpa sekat dengan ruang utama. Tinggi rumah rasanya ga sampai 1.8 meter dan WC terletak di luar rumah. Karena rumah sangat kecil dan tidak ada teras, acara dilakukan di lapangan depan rumah sambil bermandikan terik matahari. Alhasil kami sukses jadi tontonan warga yang tinggal di sekitar lapangan. Selesai acara, tuan rumah menyuguhkan teh susu dan biskuit.



Hampir setiap rumah menyuguhkan teh susu dan biskuit. Teh susu memang minuman yang sangat populer di sini. Dapat dipastikan kadar gula darah gw melambung tinggi. Mau nolak suguhan tuan rumah tapi ga enak takut dikira somse (maklum bukan warga lokal, jadi harus jaim dikit). Lagipula kasian sama tuan rumah yang sudah repot menyediakan. Yasudalahya, gw yakin hormon insulin gw masih bisa bekerja dengan baik untuk memproses glukosa dari suguhan berliter-liter teh susu yang masuk saat Christmas Carol ini.

Selain rumah jemaat, kami juga mendatangi panti jompo. Gereja dan panti jompo memang 1 sinode (Methodist) dan terletak dalam 1 komplek (gereja bersebelahan dengan panti jompo). Lucunya, karena bangunan panti jompo bentuknya melebar dan banyak jompo yang sudah susah jalan jauh, kami bernyanyi 3 kali di panti jompo ini yaitu di sayap kanan, di ruang bagian tengah, dan sayap kiri. Yah ga papahlah, demi bisa melihat senyum dan tawa para opa oma. Walaupun banyak penghuni panti jompo yang tidak merayakan natal, mereka semua ikutan berkumpul, bergembira bahkan ikut menyumbang dana natal.

Rumah terakhir yang kami datangi adalah rumah evangelis (gembala sidang) yang terletak persis di sebelah gereja. Ini memang rumah dinas khusus evangelis yang melayani di gereja. Setelah joget-joget selesai, tiba-tiba Nimron (anak evangelis yang hari ini berperan jadi sinterklas) menangis kencang. Kita semua kaget karena seharian ini Nimron joget penuh semangat di rumah-rumah jemaat kok tiba-tiba di rumah sendiri dia nangis histeris. Ternyata eh ternyataaaaa….Nimron sedih dan terharu karena 4 Januari 2016 keluarga evangelis ini akan dimutasi ke daerah lain untuk menjadi evangelis di wilayah tersebut. Ayah Nimron sudah 5 tahun melayani di gereja ini sebagai evangelis, jadi Nimron merasa sedih karena perpisahan sudah di depan mata. Aduh Nimron, pastinya nanti jika sudah dewasa kamu jadi pria yang romantis abeeees.

Tepat jam 19.30 kegiatan Christmas Carol ini berakhir. Ruarrrrr biasaaaaa capek pake banget. Badan lengket, kaki pegel, perut kembung karena berliter-liter teh susu dan kafeinnya. Gw yang ga doyan minuman manis dan juaranggggggg banget minum minuman manis apalagi teh susu (biasanya gw hanya minum teh hitam atau teh hijau tanpa gula) langsung merasa migraine karena seharian kemasukan berliter-liter teh susu yang aduhai manis banget buat standar lidah gw. Namun gw sedemikian rupa bahagianya bisa ikut ambil bagian untuk mengunjungi jemaat-jemaat gereja. Melihat langsung keadaan dan kesederhanaan mereka, melihat ketulusan mereka menyambut kami, melihat kebahagiaan mereka karena dikunjungi, melihat senyum yang muncul di wajah mereka saat kami bernyanyi dan para sinterklas berjoget. Gw juga tersentuh dengan tetangga-tetangga jemaat yang ikutan menyambut dan “menonton” kami walaupun mereka tidak merayakan natal.

Sungguh indah melihat orang lain tersenyum, apalagi jika mereka tersenyum karena kita. Semoga kita selalu bisa menjadi alasan untuk membuat orang lain tersenyum dan bahagia. Senyum itu bersifat menular. Jika orang lain tersenyum, maka otomatis kita yang melihatnya juga tertular. Walaupun gw ga tau makna lagunya,bacaan kitab,dan doa (menggunakan bahasa Tamil), namun yg gw tahu bahwa mereka tersenyum karena mereka masih punya banyak alasan untuk tersenyum. Because everyone smiles in the same language. Please smile and let the pain go.



Tuesday, December 22, 2015

Sheromy, Teman Baikku di Negeri Kari

Selama tinggal di Srilanka, gw punya teman baik, namanya Sheromi. Kami bertemu di gereja. Dia 3 tahun lebih muda daripada gw. Orangnya baik, cantik, bersahabat, dan lucu. Dia dan keluarganya aktif di gereja. Sherom kurang lancar berbahasa Inggris. Kalau ada pembicaraan kami yang mampet karena terkendala bahasa, dia langsung manggil mamanya atau siapapun yang ada disekitar kami buat jadi penerjemah. Gw dan Sherom adalah orang yang saling men-sirik-i satu sama lain. Sherom sirik sama kulit gw yang dia anggap putih, dan gw sirik sama badan Sherom yang kurus. Sherom punya 2 kakak dan 2 adik. Kakak Sherom yang tertua sudah menikah dan tinggal di luar kota, sedangkan kakak keduanya tinggal di Swiss.

Beberapa waktu yang lalu, Sherom nemenin gw beli kartu natal di kota, pulangnya gw dibawa main ke rumah dia. Saat lagi ngobrol sama mamanya Sherom, tiba-tiba Sherom bilang kalau gw harus ngobrol sama kakaknya di Swiss yang bernama Rebeka. Ebusyhettt. Kaget lah gw. Kenal juga kaga, garing banget, harus ngomong apa gw? Tanpa babibu, Sherom nelepon kakaknya via skype dan hape nya disodorin ke gw. Nah lo!!!! Mulailah gw ngobrol sama Rebeka. Lucunya, Rebeka tau banyak tentang gw, ternyata selama ini Sherom cerita banyak soal gw ke Rebeka. Rebeka juga orang yang ramah. Baru kali ini gw skype-an sama orang yang ga gw kenal tetapi ketawa ngakak sepanjang pembicaraan. Malah Rebeka ga malu untuk nangis pas cerita rindunya dia sama Srilanka karena sudah 3 tahun tinggal sendiri di Swiss. Gw yang merasa senasib sama Rebeka karena tinggal jauh sendiri di negeri orang jadi terhibur dengan semua cerita Rebeka. Namun Rebeka lebih sulit karena tinggal di negara Barat yang rasa kekeluargaannya tidak seperti negara timur. Di akhir pembicaraan, kami 2-orang-yang tidak-saling-kenal saling menguatkan satu sama lain selama tinggal di negeri orang. Setelah lebih dari setengah jam, gw pindahin itu skype ke mamanya Sherom, ga enak bokkk lama-lama ngobrol pake hape orang.

Belum selesai “kelucuan” Sherom, ini anak berulah lagi. Tiba-tiba dia nyodorin hape yang lain, katanya gw harus ngobrol sama kakaknya pertamanya yang tinggal di luar kota (duh lupa gw namanya, sebut saja namanya Mawar). Belum sempat gw protes, si Mawar udah nyapa duluan “Hei Yolanda bla bla bla”. Lalu ngobrol lah kami layaknya orang yang sudah kenal lama karena ternyata Sherom juga sering cerita tentang gw ke Ka Mawar ini. Saat lagi teleponan, Ka Mawar lagi ada acara Family Gathering dari kantor suaminya namun dia tetap antusias ngobrol sama gw. Kata Ka Mawar, Sherom sering cerita tentang gw karena dia senang punya teman baru dari luar negeri yang kulitnya putih. Aduh Sherommmmmm, polos banget sih engkau nak. Pembicaraan diakhiri dengan ancaman dari Ka Mawar bahwa gw harus datang ke rumah Sherom saat Januari 2016 pas Ka Mawar mudik ke Rumah Sherom.

Setelah ngobrol panjang sama keluarga Sherom dan ngabisin 1 kotak es krim, gw pun pamitan pulang. Sherom nganterin gw pulang ke panti jompo tempat gw tinggal yang di tempuh 5 menit naik bus yang ongkosnya seribu perak. Hari yang aneh. Bisa-bisanya gw teleponan lama sama orang yang ga gw kenal. Ternyata selera lucu-lugu Sherom belum berakhir. Sebelum naik bus Sherom ngajak gw mampir ke toko langganannya. Gw pikir Sherom mau beli sesuatu. Sampai di toko, Sherom ga beli apa-apa. Ternyata Sherom ngajak ke toko itu karena yang punya adalah mantan bos nya dan bisa bahasa inggris, jadi bisa ngajak gw ngobrol. Ampun deh Sherommmmmm. Kamu kok ya lucu banget jadi warga Srilanka. Bos Sherom ini seorang bapak berusia akhir 40 atau awal 50. Ngobrol panjang lah kami. Lumayan dapat minuman gratis. Hahahaha.

Setelah keluar dari toko, gw nanya ke Sherom “Siapa lagi yang bisa bahasa inggris yang mau kamu kenalin ke aku Sherom?” Sebenarnya itu pertanyaan sarkasme. Tetapi gw lupa kalau Sherom itu wanita lugu yang ga terbiasa dengan sarkasme. Dia jawab “aku punya teman baik yang kerja di apotek, dia kurang lancar bahasa inggris, tapi kalian bisa ngobrol karena dia orang baik.” Gw cuman bisa melongo karena Sherom langsung narik tangan gw pergi ke apotek yang ga jauh dari toko mantan bos nya itu. Sampailah gw di apotek dan gw berasa jadi ondel-ondel karena apotek lagi ramai dan pada ngeliatin gw. Daerah tempat gw tinggal memang desa sepi jadi kehadiran orang asing bikin tontonan tersendiri. Untung pegawai apotek ramah semua jadi gw enjoy-enjoy aja “dikerjain” Sherom.

Dari apotek, kami langsung ke terminal dan pulang ke panti jompo naik bus. Untung Sherom ga kenal kondektur dan supir bus nya. Kalau Sherom kenal mereka, bisa dipastikan gw akan dikenalin dan disuruh ngobrol sama supir dan kondektur tersebut. Di bus, Sherom bilang, suatu saat akan ngajak gw ke rumah tantenya. Dia bilang tantenya baik dan lancar berbahasa inggris. Terserah ngana deh Sher.

Terimakasih Sherom untuk keluguanmu, untuk kelucuanmu, untuk kebaikanmu, untuk penyambutanmu, untuk keluargamu, untuk mantan bos-mu, untuk teman-temanmu. Gw yakin Sheromi pingin gw nyaman dan senang tinggal di negara dia jadi dia nunjukin semua hal yang dia sayang dan dia anggap baik. Sherom yang baik. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.



St.Luke Methodist Hospital

Ada 3 hal yang gw benci: rumah sakit (RS), darah, dan dokter. Menurut gw rumah sakit itu beraroma kematian. Kalau darah, gw parno sama darah karena punya pengalaman buruk saat donor darah pertama (dan terakhir) kali pas SMA. RS dan darah itu identik dengan dokter, gw jadi ikut-ikutan benci sama dokter. Jarannnggg banget gw berobat ke dokter. Kalau orang lain sakit, biasanya mereka akan kehilangan nafsu makan dan lemas. Kalau gw beda, gw makin nafsu makan, biar cepat sehat, jadi bisa terhindar dari dokter dan RS. Pepatah bilang, jangan terlalu benci sama sesuatu, ntar kualat malah berjodoh. Dan gw kena kualat di Srilanka.

Di Puttur (desa kecil di utara Srilanka), gw ditempatkan di RS, tempat yang gw benci selama hayat dikandung badan. Karena ini daerah masyarakat menengah ke bawah, bukan hal yang aneh kalau pasien datang dengan sarung atau tanpa menggunakan alas kaki. Di RS ini gw bertemu pasien dengan segala keunikannya. Pasien yang bawel, pasien yang tampan, sampai pasien yang minta akun facebook. Karena ini desa kecil dengan rumah sakit kecil, jadi pasien yang datang ga terlalu banyak mudah diingat. Terkadang pasien datang sambil bawa buah tangan macam sekantong permen, buah, kue-kuean, bahkan beberapa pernah kirim kartu natal dan undangan nikah. Semoga aja ada pasien tajir nan baik hati yang ngasi tiket liburan ke Indonesiahhh.



Pengalaman yang paling membekas selama gw beraktivitas di RS ini adalah seorang pasien ibu muda yang menggendong bayi berusia 14 hari. Ibu muda ini cuman datang berdua dan naik kendaraan umum. Miris sih, ibu ini kan baru 2 minggu lahiran, pastinya masih sakit. Menggendong bayinya yang masih merah. Tetapi pasti ada alasan logis yang membuat suami ataupun kerabat si ibu ini tidak ada yang menemani. Si bayi mengalami infeksi di bagian pusarnya. Mungkin ada sedikit masalah sewaktu pemotongan ari-ari. Karena ini RS kecil dengan sarana yang terbatas, si ibu dirujuk untuk ke RS yang lebih besar (di kota) keesokan harinya (si ibu datang di sore hari sekitar jam 17.30). Dokter meresepkan salep infeksi untuk penanganan sementara. Biaya konsultasi dokter 20.000 dan harga salep infeksi 20.000 sehingga totalnya 40.000 yang harus dibayar. Ternyata, si ibu cuman punya uang 10.000 doank. Astagaaaah. Gw yang selama ini kerja hanya kontak dengan komputer dan rekan kerja (yang rata-rata semua terlihat baik secara finansial), bener-bener merasa tersentuh dengan kejadian ini. Lalu dokter menginstruksikan memberikan krim yang tinggal setengah tube (krim ini dipakai oleh pasien sebelumnya dan ditinggalkan di Rumah Sakit). Pasien ini juga tidak dipungut biaya periksa dokter. Kalau uang si ibu ini cuman 10.000 besok ke Rumah sakit gimana? Makan malam? Makan pagi? Tuhan lah yang akan memelihara umatnya.

Kalau di Indonesia, terkadang pasien menerima obat yang dimasukkan ke dalam plastik obat (biasanya kalau berobat ke puskesmas atau rumah sakit umum) tanpa ada kemasan strip atau blister karena pihak pabrik mengemas dalam wadah yang berisi sekitar 100-1000 per wadah. Nah kalau di rumah sakit ini, wadah plastik diganti dengan kertas roti yang dibentuk seperti angpao.

Kertas roti yg dilipat jd angpao utk wadah obat yg diberikan ke pasien

Menurut gw sih ga efektif, soalnya bagian atas hanya di lipat aja, jadi ada kemungkinan obat tumpah. Lagipula kalau kena cairan, kertas tersebut akan hancur dan akan merusak obat. Tapi ini masih mending, ada Rumah Sakit yang ga jauh dari sini, bungkus obatnya pakai kertas bekas. Ondemandeee, dikira ngebungkus gorengan apa??? Gw jadi ingat saat masih kerja di pabrik obat. Tiap hari suhu ruangan dan jumlah bakteri dalam ruangan di ukur. Proses produksi ga boleh dimulai sebelum semuanya oke. Suhu ruangan lewat 1°C atau jumlah bakteri lebih sedikit harus bikin laporan penyimpangan dan dilakukan investigasi. Bener-bener remfoooong dan harus zero mistake. Setelah melewati prosedur yang rumit dan syarat ini-itu yang ketat sampai obat berhasil dikemas dan dijual, ternyata pihak rumah sakit malah bungkus obat pake kertas bekas. Rasanya tuhhhhhhhh….


Obat dibungkus di kertas bekas (rumah sakit competitor)


Hal menarik lainnya yang gw temuin di rumah sakit ini adalah pasien yg gw kategorikan L3b4y. Terkadang, luka se-iprit aja datang untuk diobati (missal lecet dikit karena jatuh). Jadi penanganannya hanya dibersihkan dengan alkohol dan diberi povidone iodine. Udah gitu aja. Ga dalam pula lukanya. Aelahhhh… Di tambah lagi, pasien kembali datang beberapa hari kemudian untuk ganti perban. Dan ini Banyak loh pasien yang datang dengan luka-yang-tidak-niat. Kadang gw minta suster untuk edukasi ke pasien agar mereka nyetok obat P3K untuk luka ringan. Palingan ga sampai 20.000, kan lumayan irit uang. Tapi kalau pasiennya datang dengan luka serius dan penuh darah, gw langsung kabur. Ga peduli walaupun pasiennya setampan Taylor Lautner. Hiyyyy.

Sejak gw di Srilanka dan mengenal lebih dalam aktivitas rumah sakit. Paradigma gw akan profesi dokter-suster yang selama ini negatif di pikiran gw berubah. Sekarang gw mengagumi mereka. Angkat cangkir kopi buat mereka. Siapapun pasiennya, apapun penyakitnya, apapun lukanya dilayani dengan tangan terbuka. Apalagi jika menghadapi pasien yang tidak mampu, di mana hati nurani mengambil peran. Dulu gw sebel kalau lagi berobat ke RS (apalagi RS pemerintah atau puskesmas) dan ketemu dokter atau suster yang gak ramah. Namun sekarang gw mengerti, mereka lelah seharian menghadapi pasien dengan segala macam karakter. Memang manusia tidak pernah bisa mengerti dengan baik perasaan orang lain kecuali jika kita berada di posisi mereka.

If u were me, you’d know. But you’re not, so don’t  think you do (Quotes)

Selamat melayani dengan hati wahai paramedis berseragam putih.



Mari Menabur Perbuatan Baik

Di awal desember 2015 kemarin, panti jompo kami kedatangan penghuni baru, 2 orang lansia perempuan kakak beradik. Sejak lahir mereka tidak bisa berbicara (bisu) dan tidak bisa mendengar (tuli). Mereka juga punya adik cowo yang juga menderita bisu-tuli, namun sudah menikah. Ga kebayang deh gimana perasaan orang tua mereka saat mendapati semua anak mereka bisu-tuli. Pastinya orang tua mereka mengkuatirkan masa depan anak mereka. Namun bukankah Tuhan senantiasa memelihara anak-anakNya? Sekarang kedua kakak beradik bisu tuli ini  berusia 60 tahunan.

Beberapa puluh tahun yang lalu, sewaktu mereka masih muda dan orang tua mereka masih hidup, mereka mempunyai tetangga yaitu kakak beradik yang masih kecil. Kakak beradik ini menjadi yatim piatu di usia yang masih dini sehingga keadaan mereka miskin sekali. Si adik miskin ini (selanjutnya di sebut A) sering di ajak main sama perempuan bisu tuli ini. Sering diberi perhatian, makan, dan dibantu kebutuhan sehari-hari oleh perempuan bisu-tuli dan keluarganya. Tahun berganti tahun, si A kemudian sukses dan bekerja di Swiss. Tiga tahun yang lalu orang tua perempuan bisu-tuli meninggal dan mereka hanya tinggal berdua. Si A kembali ke Srilanka untuk liburan sebelum kembali bekerja di Swiss. Si A yang pernah mendapat kebaikan dari 2 perempuan bisu-tuli ini berinisiatif mengirimkan mereka ke rumah jompo dan akan menanggung iuran bulanan mereka. Si A merasa kuatir jika perempuan bisu-tuli tinggal hanya berdua tanpa adanya orang normal, akan ada orang yang berbuat jahat karena mengetahui keterbatasan fisik penghuni rumah. Lagipula sejak orang tua perempuan bisu-tuli ini meninggal, mereka memilki masalah finansial. Memang agak susah mencari pekerjaan untuk orang yang mengalami keterbatasan fisik. Sekarang dua perempuan bisu-tuli ini menjadi penghuni tetap panti jompo dengan supply dana dari si A. Beberapa hari setelah mengantar ke panti jompo, si A balik ke Swiss.

Ada tiga hal yang menarik dari cerita ini.

Pertama. Walaupun mengalami kekurangan fisik, kedua perempuan bisu-tuli ini bisa menjadi berkat bagi sekitarnya. Mereka tulus menolong tetangga mereka yang miskin. Pertolongan bukan hanya dari segi material, namun juga bisa berupa perhatian dan kasih sayang. Tidak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia. Tuhan memakai dua perempuan yang cacat ini untuk membantu sesama. Orang yang cacat saja mau membantu dan menjadi berkat bagi orang kain, harusnya orang yang dilahirkan normal bisa melakukan lebih toh?

Kedua. Tuhan pasti akan selalu memelihara umat yang berserah padaNya. Hal yang wajar jika kedua orang tua perempuan bisu-tuli ini sedih dengan keadaan anaknya yang cacat. Pasti mereka kuatir akan masa depan anak mereka. Mending kalau hanya 1 yang cacat, kenyataannya semua anak mereka cacat. Namun Tuhan membuktikan janji pemeliharaan bagi umatNya. Di usia yang sudah tua, Tuhan memelihara mereka melalui perantara tetangganya. Burung di udara aja yang tidak pernah menanam dan menabur, namun mereka di pelihara Tuhan. Apalagi manusia yang merupakan ciptaanNya yang paling mulia. So, janganlah kiranya kita kuatir akan hari esok, apa yang akan kita makan, dan apa yang akan kita minum.

Ketiga. Gw yakin banget seyakin-yakinnya, dahulu waktu si A masi kecil, kedua perempuan bisu-tuli ini ga akan nyangka si A jadi sukses. Pasti ga sekalipun terpikir “kita tolong si A yuk, nanti kan si A kalau besar sukses dan balik akan menolong kita”. No. Mereka benar-benar tulus menolong tanpa mengharapkan pamrih. Apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai. Tuaian itu bisa berbuah 2x lipat, 10x lipat, 100x lipat bahkan ribuan kali lipat. Dan waktu menuai mungkin bukan hari ini, esok, minggu depan, dll. Namun Tuhan sudah menetapkan waktu tuai yang sempurna bagi masing-masing orang. Perempuan bisu-tuli ini menuai beberapa puluh tahun kemudian. Gw jadi ingat Oma Jeya, penghuni jompo yang mengalami gangguan jiwa. Oma Jeya tidak punya saudara dan orang tuanya sudah meninggal. Iuran bulanan panti jompo Oma Jeya ditanggung pemerintah. Selama tinggal dipanti jompo, cuman 1 orang yang rutin mengunjungi Oma Jeya, yaitu tetangganya yang sudah tua. Tetangga ini selalu terkenang kebaikan orang tua Oma Jeya sewaktu mereka masih hidup. Orang tua Oma Jeya selalu membantu tetangga ini. Sekarang tetangga ini membalas kebaikan orang tua Oma Jeya dengan rutin mengunjungi Oma Jeya dan terkadang memberikan uang kepada Oma Jeya. Padahal tidak pernah ada satu pun keluarga Oma Jeya yang mengunjungi Oma Jeya.

Gw pernah baca artikel, saat lagi sedih dan merasa ga berguna, coba deh melakukan kebaikan terlebih kepada orang yang tidak dikenal, misalnya memberi makan tukang becak atau pengemis. Membayar lebih dagangan jika penjualnya sudah tua, dll. Pasti ada semangat baru setiap kali melihat senyum orang yang menerima kebaikan kita. Beneran loh terbukti. When you see poor people smile, it means smile of God. Hal kecil yang kita lakukan bagi orang lain, mungkin bisa jadi merupakan hal besar yang diterima orang tersebut.


Apa yang kita tabur, itu pula yang kita tuai. What you put out into the world, comes back to you. Selamat berbuat baik tanpa pamrih teman.

Between the angels