Saturday, February 27, 2016

Mereka Bukan Kristen, Mereka ke Gereja

Selama tinggal di Srilanka, gw beribadah di Gereja Kristen Methodist St Lukas. Selama 6 bulan gw tinggal di sini, gw tidak menemukan perbedaan berarti dengan gereja Kristen di Indonesia, mungkin hanya penamaan gereja yang menggunakan kata Santo/Santa, hal yang tidak lazim di gunakan gereja Kristen di Indonesia. Komuni di gereja ini dilakukan setiap minggu pertama. Saat komuni berlangsung, gw perhatikan beberapa jemaat tidak ikut maju ke depan altar untuk menerima komuni, dan ini terus terjadi di setiap komuni. Kalau cuman 1 atau 2 jemaat sih mungkin gw ga akan kepo, nah ini ada sekitar 8 jemaat (dewasa) yang  tidak pernah ikut komuni. Mereka hanya duduk di kursi sampai ibadah komuni selesai.

Awalnya gw pikir mungkin jemaat tersebut belum mengikuti katekisasi. Tapi aneh juga karena usia mereka sudah tua, rata-rata penghuni panti jompo (gereja  dan panti jompo berada dalam naungan Methodist dan berada dalam 1 kompleks). Kok telat banget sudah tua namun belum katekisasi, padahal biasanya jemaat mengambil kelas katekisasi dan menerima komuni sebelum umur 20 tahun. Kenapa pula pendeta tidak ada inisitif untuk mengajak mereka belajar katekisasi.

Akhirnya gw mendapatkan jawabannya. Ternyata mereka itu adalah Hindu (mayoritas warga di daerah tempat gw tinggal adalah Hindu). Ada juga 1 jemaat yang Kristen namun belum dikatekisasi karena kedua orangtuanya adalah Hindu sehingga tidak ada yang membimbing (dia Kristen karena sering dibawa neneknya yang Kristen ke gereja) dan merasa belum siap untuk katekisasi karena masi bimbang (padahal umurnya sudah 60 tahun lebih). Memang semua keluarganya Hindu, jadi dia terkadang masi ikut beberapa kegiatan ke-Hindu-an.

Ah ga ngerti deh gw sama situasi ini. Masalahnya, beberapa warga yang ternyata Hindu ini rajin banget ke gereja dan memberikan persembahan. Mereka tidak hanya rajin datang saat ibadah minggu, ibadah tahun baru dan ibadah awal bulan pun mereka datang (setiap tanggal 1 diadakan ibadah pukul 6.30 pagi). Malah salah satu dari mereka adalah seksi repot di gereja. Dia yang mempersiapkan mic buat pendeta sebelum ibadah di mulai. Dia juga yang repot nyiapin buku lagu. Dia juga yang repot menyiapkan roti dan teh yang dibagikan kepada jemaat di akhir ibadah.

Setelah gw korek-korek latar belakang non-kristen ini rajin gereja, gw mendapatkan fakta yang menarik. Seksi repot yang gw sebutkan di atas adalah seorang opa penghuni panti jompo, namanya Opa Mohan. Opa Mohan memiliki IQ yang rendah sehingga hanya bisa sekolah sampai kelas 5 SD (opa berasal dari keluarga menengah ke atas). Opa Mohan sudah 8 tahun tinggal di panti jompo karena semua saudaranya banyak yang merantau ke luar negeri. Opa Mohan suka membantu para pekerja di panti, mulai dari pekerjaan dapur umum, mengurus kebun, sampai dengan memotong kayu bakar. Pola pikirnya memang seperti anak kecil yang suka kepo sama kerjaan orang lain. Di gereja, Opa Mohan dipercaya memeriksa mic dan persiapan lain yang akan dipakai untuk ibadah, menyimpan dan menyiapkan buku lagu, menyiapkan roti dan teh yang dibagikan di akhir ibadah. Itu semua murni inisiatifnya, opa tidak pernah disuruh. Jadilah opa merasa menjadi penanggung jawab gereja. Memang terlihat sepele, namun segala sesuatu yang dilakukan dengan ketulusan hati akan memberikan dampak yang besar. Saat opa tidak muncul dan melakukan semua hal yang biasa dia lakukan di gereja, semua orang akan kelimpungan dan merasa ada yang kurang. Hal lucu yang paling gw ingat adalah, suatu minggu opa ga muncul di gereja. Saat ibadah sudah selesai, opa terlihat mendatangi pendeta dengan terburu-buru sambil menyerahkan uang. Ternyata dia memberikan persembahan karena tadi tidak ikutan ibadah. Hmmm.

Ada juga oma penghuni jompo non-kristen yang rajin ikut ibadah setiap minggu, namanya Oma Thevi. Oma ini mengalami gangguan jiwa karena mengalami KDRT oleh suaminya. Sebelumnya di panti ada Oma yang sudah sangat tua (sebut saja Oma A). Oma A seorang Kristen. Oma A rajin beribadah ke gereja dan hampir setiap hari ke gereja untuk berdoa. Karena faktor usia, lambat laun oma A kesulitan berjalan. Oma A meminta Oma Thevi untuk mengantarnya berdoa ke gereja tiap hari dan beribadah di hari minggu. Hal ini sudah menjadi agenda rutin Oma Thevi. Pada bulan Juli 2015 Oma A meninggal dunia. Walaupun sudah tidak ada lagi yang harus diantar ke gereja, namun Oma Thevi tetap datang ke gereja di hari minggu untuk beribadah. Oma Thevi selalu duduk di kursi paling belakang. Walaupun mengalami gangguan jiwa, Oma Thevi tidak pernah mengganggu saat ibadah dan selalu memberikan persembahan.

Untuk para penghuni jompo lainnya yang non-kristen namun rajin ke gereja, menurut analisa pendeta mungkin disebabkan bosannya mereka di panti jompo tanpa kegiatan. Sehari-hari mereka hanya menunggu datangnya matahari terbit dan tenggelam. Jadi mereka datang ke gereja karena senang melihat keramaian dan mendengar suara orang bernyanyi. Pendeta sendiri tidak pernah mengajak penghuni panti ke gereja. Mereka datang atas inisiatif mereka sendiri. Pendeta menyambut dengan tangan terbuka semua orang yang mau datang beribadah. Jika memang nantinya mereka terpanggil untuk mengimani ajaran Kristen, barulah pendeta akan membimbing. Selain penghuni panti jompo, ada juga warga sekitar yang non-kristen datang beribadah ke gereja.

Gw pribadi memiliki opini pribadi atas kondisi ini. Mereka yang non-kristen ini tertarik datang ke gereja selain karena kesepian namun juga melihat ada hal yang baik dari orang kristen yang pergi ke gereja. Walaupun Oma A rajin berdoa dan beribadah ke gereja namun (misalkan) kelakuannya sangat buruk, mungkin Oma Thevi tidak akan mau menemani Oma A ke gereja dan berhenti ke gereja saat Oma A sudah meninggal. Namun di sini Oma Thevi melihat ada hal baik dari Oma A yang rajin ke gereja sehingga Oma Thevi tertarik untuk mengikuti rutinitas Oma A. When people fall for personality, everything else about it becomes beautiful.

Kalau orang yang beragama Kristen memiliki kelakuan yang buruk pasti orang disekitarnya akan mencibir “Ah buat apa ikutan ke gereja, dia yang rajin ke gereja aja namun kelakukaanya sangat buruk.” Memang kepribadian seseorang tidak bisa men-generalisir suatu kelompok tertentu, namun secara langsung memberikan label bagi beberapa orang. Misalnya label bahwa orang Amerika identik dengan seks bebas, alcohol, dan clubbing. Padahal tidak semua warga Amerika seperti itu.

Seorang yang percaya kepada Kristus haruslah menunjukkan bahwa Kristus tinggal di dalam diri mereka. Kita harus menjadi garam yang mengasinkan dan terang yang menerangi, bukan sebaliknya menjadi batu sandungan.

Sehingga oleh imanmu Kristus diam dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih (Efesus 3:17)

Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran (Efesus 5:8-9)

Untuk kasus Opa Mohan, di sini gw beropini bahwa pengurus gereja mengapresiasi semua hal yang dilakukan Opa Mohan sehingga Opa Mohan menemukan tempat di mana dia dihargai, dipercaya, dan diberi apresiasi. Di gereja lah Opa Mohan merasa berguna dan tidak dianggap sebagai orang yang tidak berguna karena memiliki IQ rendah. Pengurus gereja mengapresiasi dan tidak pernah menganggap remeh semua pekerjaan Opa Mohan. Pengurus gereja memandang bahwa semua manusia sama dihadapan Tuhan, sekalipun orang tersebut memilki IQ rendah. Be somebody who makes everybody body feel like a somebody.

Apakah perbuatan kita selama ini menjadi berkat? Atau menjadi batu sandungan? Apakah garam kita masih asin, atau sudah hambar?


Jacob was a liar,
Moses was a stutterer,
Gideon was a coward,
David was an adulterer,
Rahab was a prostitute,
Esther was an orphan,
Balaam’s donkey was a donkey
Yet God uses each one to impact His kingdom. Let God makes us to impa His kingdom –Quote-



1 comment: