Saturday, January 23, 2016

A Death leaves a Heartache

Selama berada di Srilanka, gw tinggal di Panti Jompo. Para jompo di panti ini diharuskan hidup mandiri: mulai dari mandi, makan, membersihkan kamar, hingga mencuci baju sendiri. Hanya jompo yang sudah lemah fisik dan yang mengalami gangguan jiwa yang dibantu oleh pengasuh di panti jompo. Beberapa dari jompo mengkonsumsi obat setiap harinya. Untuk jompo yang lemah dan sering pikun, biasanya obat disimpan di 1 ruangan dan akan diantar ke kamar para jompo jika waktu minum obat telah tiba.

Salah satu penghuni jompo yang selalu gw antar obatnya adalah Opa Alakanshuntaran yang berusia 75 tahun. Karena namanya panjang dan susah diucapkan, gw biasanya menyebutnya Opa Diabetes, yah memang opa ini mengidap penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, dan kolesterol. Tiap pagi, siang, dan sore hari gw rutin mendatangi kamarnya untuk mengantarkan obat. Di pagi hari 7 butir obat, siang hari 2 butir obat, dan malam hari 7 butir obat. Opa sering ngajak gw ngobrol dengan bahasa Tamilnya karena dia tidak bisa berbahasa Inggris. Gw yang kemampuan bahasa Tamil masih di level prebasic, hanya bisa senyum dan akting seolah gw ngerti apa yang dia ucapkan. Dalam kesepiannya di usia senja, para jompo di panti memang tidak terlalu membutuhkan orang yang bisa diajak berdiskusi, namun mereka lebih membutuhkan orang yang sabar mendengarkan semua cerita mereka. I put my hundred ears here, and I keep my only one mouth closed.

Tiap bulan, opa diabetes rutin berobat ke RS pemerintah yang jaraknya 45 menit menggunakan bus kota. Opa masih sanggup pergi sendirian ke RS menggunakan bus walaupun harus melangkah pelan-pelan dan menggunakan tongkat. Istri opa sudah meninggal. Kedua anaknya sudah menikah dan tinggal di luar kota, jadinya opa ditempatkan di panti jompo. Setiap balik dari RS, opa selalu mendatangi gw dan menyerahkan semua obat yang diberikan RS: ada 10 jenis obat. Opa ini benar-benar menyadarkan gw untuk peduli kesehatan selagi muda, ngeri juga di usia tua harus mengkonsumsi 16 jenis obat setiap hari. Yang lebih miris, terkadang saat lagi datang ke kamarnya, gw mendapati semut-semut jahat sedang mengerubungi kaki opa tanpa disadarinya.

Sebulan belakangan ini, opa terlihat semakin lemah. Jarang berbicara dan lebih sering berbaring. Gw langsung bad feeling. Sekitar 2 minggu yang lalu, Opa ditemukan tidak sadarkan diri. Saat dicek kadar gulanya hanya 45, hipoglikemi. Setelah dilakukan pertolongan pertama, opa dibawa ke RS. Empat hari dirawat, opa diijinkan pulang ke panti jompo. Semenjak balik dari RS, keadaan opa semakin lemah dan hanya berbaring di tempat tidur. Kadang kalau dipanggil responnya lama. Kadar gulanya pun cenderung tinggi, selalu diatas 300 dan 400. Gw mulai menolak mengantarkan obat ke kamarnya dan meminta orang lain yang mengantarkan obat karena gw ga tega (dan takut) melihat keadaannya yang lemah. Dari dulu, gw selalu takut menjenguk kerabat atau teman yang sekarat di RS, gw ga tega melihat mereka yang berusaha melawan sakit atau terlihat pasrah sama maut. Walaupun gw ga pernah mengantar obat lagi, namun gw selalu mengintip kamarnya tiap sore. Pintu kamar opa memang sengaja selalu terbuka agar mudah terlihat jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan sama opa

Tiga hari yang lalu opa demam tinggi. Dokter pun meresepkan obat. Namun opa tetap demam dan kadar gulanya selalu di atas 400. Duhhhh bikin gw makin deg-degan. Kemarin pagi, tiba-tiba badan opa terasa sangat dingin dan kadar gula cenderung normal di angka 100. Anehnya sore hari badan kembali panas namun 1 jam kemudian dingin kembali. Gw dan para pengurus panti merasa kalau opa tidak akan lama lagi bertahan. Beberapa jam kemudian, saat akan disuapi untuk makan malam, opa tiba-tiba pingsan dan diketahui sudah tidak bernyawa. Opa diabetes meninggal

Seumur-umur, ini pertama kalinya gw “mengikuti” perjalanan kritis seseorang sampai maut menjemput. Walaupun gw bukan keluarganya, namun interaksi selama 5 bulan ini membuat gw merasa opa adalah keluarga baru gw. His death leaves something in my heart and my life. Memang setiap orang suatu saat pasti meninggal. Banyak orang berharap meninggal dengan dikeliling keluarga dan orang yang dikasihi. Namun opa diabetes sekarat dan meninggal dalam kesendirian dan kesepian di panti jompo, tanpa perhatian keluarga. Seorang oma di panti menghibur gw: “Orang datang ke dunia sendirian, baliknya yah sendirian juga. Yang bikin bahagia bukan dikelilingi keluarga saat menjelang maut, namun saat kita yakin bahwa hidup yang diberikan Tuhan sudah kita isi dengan penuh arti dan kita siap untuk kembali padaNya.”

Beberapa jam setelah opa diabetes meninggal, gw mulai ga suka tinggal di panti jompo ini. Gw berpikir, ini panti jompo isinya orang lanjut usia semua. Berapa banyak lagi para jompo di panti yang harus gw saksikan secara langsung sekarat dan meninggal? Gw teringat oma yang sering gw datangi kamarnya untuk numpang nonton TV. Oma ini sudah berumur 84 tahun. Oma bilang sejak 3 bulan belakangan dia merasa semakin lemah dan kesehatannya menurun. Apakah gw akan kehilangan dia juga dalam waktu dekat?

Tuhan menempatkan gw berada di tengah-tengah orang lansia pastinya bukan tanpa alasan. Banyak hal yang gw pelajari sejak tinggal bersama lansia: mulai dari menjaga kesehatan, mengisi masa muda dengan hal bermanfaat, dan berbagai macam pelajaran lainnya dengan tujuan “Agar tidak menyesal di hari tua.” Mereka juga mengajari gw memperhatikan sesama. Yah, para jompo yang tinggal di panti, tidak memiliki keluarga, sehingga mereka saling membantu dan memperhatikan sesama jompo. Berbuat baik memang tidak mengenal batasan usia dan batasan harta. Maybe the little things we do mean the most for other people. Ada seorang oma lumpuh di panti yang selalu manggil gw “my angel” karena setiap sore gw selalu datang ke kamarnya untuk membantu menyalakan obat nyamuk bakar di kamarnya dan mengisi penuh tekonya dengan air minum. Little things for me, but matter the most for her. So lets do the good things everyday as long as we still breathe.

At the end of our lives, we will not judged by how many diplomas we have received, how much money we have made or how many great things we have done. We will judged by “ I was hungry and you gave me to eat. I was naked and you clothed me. I was homeless and you took me in” (Mother Theresa)

Mungkin juga Tuhan menempatkan gw di panti jompo dan harus (terbiasa) melihat jompo yang sekarat dan meninggal untuk menyadarkan gw bahwa kehidupan di dunia bukanlah kehidupan yang kekal. Suatu saat gw akan kembali padaNya, kapanpun itu. Jadi gw harus selalu mempersiapkan diri untuk bertemu denganNya.

When I stand before God at the end of my life, I would hope that I would not have a single bit of talent left, and could say “I used everything YOU gave me.” –Erma Bombeck-

Selamat jalan Opa Diabetes. Terimakasih untuk interaksi 5 bulan yang sangat bermakna ini. Terimakasih sudah mengajariku arti dan akhir dari hidup ini. You stay safe with the angels there.

Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi. TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN (Ayub 1 :21).

Good bye Opa Diabetes


2 comments: