Tuesday, January 12, 2016

Kepo yang BerETIKA

Selama tinggal di Srilanka, sehari-hari gw beraktivitas di Rumah Sakit. Hal ini membuat gw bertemu dengan banyak orang baru (baca: pasien dan keluarganya) setiap hari. Karena gw tinggal di daerah yang bisa dikategorikan pedalaman, kehadiran gw yang secara fisiologis terlihat non-Srilanka, jadi kekepoan tersendiri buat mereka. Mereka sering bertanya : “asal dari mana.” Hal tersebut masih terjadi sampai sekarang. Kadang gw minta mereka menebak negara asal gw. Sampai dengan hari ini, belum pernah ada seorang pun yang dengan benar menjawab gw dari Indonesia. Kebanyakan mereka menebak gw dari Asia Timur: Cina, Korea, Hongkong, Taiwan, Jepang, bahkan Mongol (entah seperti apa penampakan orang Mongol). Bener-bener bikin gw ge-er dan merasa jadi bunga di sini, padahal di Indonesia gw merasa bagaikan lumpur. Selain Asia Timur, banyak juga yang mengira gw dari Filipina, Thailand, dan Singapur.

Jika mereka menebak gw dari negara Asia Timur, gw akan bantu ngasi ke clue ke mereka bahwa gw dari Asia Tenggara dan minta mereka menebak lagi. Kebanyakan mereka menebak Filipina atau Thailand. Ada apa dengan Indonesia? Mengapa fisiologi Indonesia terasa kurang orisinil. Padahal di Asia Tenggara penduduk Indonesia lebih dari 200 juta jiwa, kenapa malah lebih populer orang Filipin, Thailand, bahkan Singapore yang penduduknya cuman seiprit dari Indonesia. Kayanya Indonesia kurang go Internasional nih. Yang paling ngeselin, setelah gw bilang gw dari Indonesia, ada seorang Bapak yang langsung komen “Oh, so this is Indonesian girl” (sambil memandang tajam dari rambut sampai ke jempol kaki gw). Gw langsung pamit pergi, takut di tawar bokkk.

Kekepoan mereka ga berhenti di negara asal aja. Seringnya diikuti dengan pertanyaan tambahan soal umur. Agak berani juga nih mereka, rasanya di Indonesia jarang ada orang yang nanya soal umur sama orang yang baru dikenal. Awal-awal gw tinggal di Srilanka, gw seneng-seneng aja ditanya soal umur, karena biasanya mereka menduga umur gw lebih muda 3-5 tahun dari umur gw di KTP. Namun lama-lama gw jengkel juga ditanya umur, kok kayanya ga penting banget. Gw aja ga tertarik pengen tahu umur mereka. Sehari bisa ada 3 orang yang nanya umur. Belakangan ini, tiap ada yang nanya umur, gw akan jawab 35 tahun. Mereka sih sadar gw boong-bercanda. Dan gw berharap mereka juga sadar kalau gw ga suka ditanya umur. Mereka itu gatau apa yak kalau ada 2 pertanyaan yang HARAM buat wanita. UMUR dan BERAT BADAN (mirisnya, yang kepo sama umur gw kebanyakan berasal dari kaum hawa).

Setelah nanya umur, pertanyaan berikutnya adalah status pernikahan. Iniiii orangggg Srilanka padaaaaa kenapaaaaa sihhhhh. Bahkan pertanyaan ini pernah diajukan sama orang yang baru kenal di bus bahkan pegawai minimarket yang baru kenal. Apa yah untungnya informasi status pernikahan gw buat kehidupan mereka. Rasanya seumur-umur, gw ga pernah kepoin status pernikahan (dan umur) orang yang baru gw kenal, bahkan menanyakan langsung ke orangnya. Sering juga kalau gw simpatik sama orang (baca: naksir) terus gw cerita sama teman, teman gw bilang “Ih Yolan,,dia kan umurnya di bawah lo.” Atau “Ih Yolan, dia kan sudah nikah.” Lahhhh meneketehe,,kalau cuman simpatik mah ga peduli doi brondong atau suami orang. Toh ga dijadiin target jadi pasangan juga, hanya sekedar mengagumi keindahan karya ciptaan Tuhan.

Pertanyaan kepo lainnya yang sering ditanyakan sama orang lokal sini ke gw adalah agama gw. Entah mengapa, dari dulu gw ga suka kalau ditanya agama. Rasanya ga penting (banget). Gw ingat, saat berobat ke salah satu Rumah Sakit, karena pertama kali berobat jadinya gw harus ngisi formulir pendaftaran. Di situ tertera kolom agama pasien. Apa coba hubungannya agama sama niat berobat. Padahal Rumah Sakit ini dengan bangganya menyertakan kata Internasional di papan namanya. Sengaja itu kolom agama ga gw isi. Dan ternyata ga ngaruh tuh, gw tetap bisa berobat di sana. Jadi kenapa harus ada kolom agama ya? Pernah juga ada seorang teman kantor yang sering chat gw, perhatian, ngajak bercanda di chat, ngirim joke, dll. Suatu saat gw pasang foto profil gw yang sedang berada di gereja dengan latar belakang salib. Dia langsung chat confirm agama gw karena dari marga gw, jarang ada yang beragama nasrani. Gw kecewa sih dia chat confirm agama, perasaan gw langsung ga enak. Dan benar, setelah gw bilang gw nasrani (yang berbeda dengan agama dia), muai saat itu dia ga pernah chat gw lagi kecuali nanya hal penting soal kerjaan. Itu juga chat dengan bahasa kaku, formil, padat, singkat. Duhhh, sedihnya teramat sangat. Makanya gw agak takut juga pas di tanya agama sama masyarakat Srilanka, karena di daerah gw tinggal mayoritas beragama Hindu. Gw trauma “ga diajak main”. Untungnya kekuatiran gw ga terbukti. Mereka ramah dan mau bergaul sama gw. Bahkan saat natal gw diselamatin dan ada yang ngasi bingkisan dan kue. Fiuhhhh. If my best friend is different religion than me, so what? Nothing will keep me from praying for her safety, health, and happiness.

Share our similiarities, celebrate our differences (M. Scott Peck).

Dari semua kekepoan yang gw terima selama di Srilanka. Ada pertanyaan kepo yang bikin gw J3N6K3L B4nG3T. Pegawai minimarket, yang letaknya di seberang tempat gw tinggal, pernah nanya. “Kamu ngerokok ga?” Pertanyaan simple namun bikin gw bete sesaat.  Apaaa cobaaa maksudnya. Gw iseng jawab kalau gw ngerokok. Dia shock-terpana. Nah loh, kenapa pula dia shock. Terus langsung lanjut nanya “Minum Alkohol?” Gantiin gw yang shock-terpana. Sesaat gw merasa bahwa kepo dan TIDAK beretika itu beda tipis, lebih tipis dari kaus partai yang sering dibagikan saat kampanye pemilu. Gw bilang aja gw peminum alkohol. Bodo amat dah. Lo mau musuhin gw karena gw perokok dan peminum alkohol gw kaga peduli. Petugas Imigrasi Srilanka aja ga nanya status perokok-peminum ke gw saat gw ngajuin visa buat bisa tinggal di Srilanka.

Sah-sah saja memang penasaran dengan kehidupan seseorang, namun jangan sampai melupakan ETIKA dan apa tujuan menanyakan informasi personal kepada seseorang.  Kepada mereka yang menanyakan umur, status pernikahan, agama, bahkan status merokok-peminum alkohol ke gw, gw ga balik menanyakan hal tersebut ke mereka. Gw harap mereka sadar kalau gw ga tertarik (dan ga suka) di tanya seperti itu makanya gw ga nanya balik. Biarlah image seseorang tumbuh dari hubungan personal, perbuatan, dan perkataan yang terucap. Bukan dari generalisasi umur, agama, status pernikahan, rokok, maupun alkohol. Gw ga keberatan kok temenan sama berondong, orang tua, single, married, janda, duda, ateis, perokok, peminum, bahkan orang bertato. Asal bukan tukang jagal macam Rian Jombang aja, ngeri booook. To be my friend, you have to accept me as I am. Not as you want me to be. Gw ga pernah mengklaim diri gw lebih baik dari mereka yang perokok dan peminum. Dan gw bukan Tuhan yang punya hak menghakimi bahwa perokok dan peminum alkohol itu berlumur dosa.  

Maybe, the nicest people I’ve met were smoker, drink alcohol or covered in tattoos and piercing, while the most judgemental people I’ve met are the ones who go to church every Sunday (quotes).

You are different, you are my friend.



2 comments: